Dongeng Puncak Lawu Dari Cerita Bahasa Jawa Daerah Magetan



Puncak G. Lawu
JATIM - Jika sampai sekarang puncak Gunung Lawu dianggap keramat oleh rakyat Magetan dan sekitarnya, memang beralasan. Karena menurut kepercayaan, yang menguasai puncak Lawu adalah keturunan Raja Brawijaya VII. Ketika masih muda Raja Brawijaya sebenarnya bernama Raden Damarwulan. Damarwulan ini raja terakhir kerajaan Majapahit yang bergelar Raja Brawijaya ke 7. Adapun puteranya yang nomor lima bernama Raden Bondan Gugur. Raden Bondan Gugur inilah sebenarnya yang sampai sekarang ini membayangi puncak Gunung Lawu. Saudara Raden Bondan Gugur yang bernama Raden Patah berada di Bintara atau Demak. Jadi Raden Patah adalah yang memerintah di Demak Bintara. Raden Patah kemudian mengambil gelar Raden Jimbuningrat. Lazim juga disebut sebagai Babah Patah. Raden Patah inilah yang menyebar luaskan ajaran agama Islam.
Apakah sebabnya Raden Bondan Gugur bertempat di puncak gunung Lawu? Sebab musababnya ialah karena pada waktu itu terjadi perang antara Majapahit dengan Adipati Bojonegara atau Cepu.
Tetapi sebenarnya Bojonegara mendapat bantuan dari Raden Patah yang menja­di raja Demak. Putra Majapahit Bondan Gugur diusir dari kerajaan, tidak boleh bertempat tinggal di Majapahit. Bondan Gugur melarikan diri sam­pai ke daerah Sragen. Sebenarnya Bondan Gugur masih anak-anak. Ia baru berumur 15 tahun. Sampai di Sragen ia kebingungan, tidak tahu lagi kemana harus pergi. Karena dikepung oleh musuh, yakni prajurit-prajurit dari Bojonegara, dan ia sudah merasa lelah dan kebingungan, lalu ia bertekad berjalan mendekati lereng gunung Lawu sebelah utara yang masih menjadi wilayah Sragen.

Ia naik terus dan akhirnya sampai di Banyu Urip yakni lereng gunung Lawu sebelah timur. Di daerah inilah si bocah Bondan Gugur merasa sangat lelah. Akhirnya ia menjatuhkan diri, beristirahat di bawah sebuah pohon. Ketika itu, di Penggik, di bawah gunung Lawu sebelah timur, termasuk daerah Cemara Lawang, adalah seorang Kyai yang sangat hebat tapanya. Di situ ia selalu meminta anugerah dan perlindungan. Ketika sang begawan menyaksikan ada seorang anak pingsan di bawah pohon, maka anak tersebut segera ditolongnya. Anak tersebut diberi minuman air yang berasal dari sebuah sumber dekat tempat tersebut. Oleh karena itu sang anak segera sadar dari pingsannya.

Itulah sebabnya sendang tersebut, kemudian diberi nama Sendang Kauripan (sendang kahidupan) atau Banyu Urip. Demikian juga Penggik tadi lalu disebut Penggik Caya (cahaya) sebab si anak yang pingsan yang sudah tidak mempunyai wujud (caya) tersebut setelah minum air tambah segar dan berseri-seri. Kemudian Sang Begawan Jamba Loka bertanya kepada anak ter­sebut, “Namamu siapa Nak?”. “Saya bernama Bondan Gugur, putera Raja Brawijaya yang no­mor lima”, jawab anak itu. Bondan Gugur pun lalu berceritera mengapa ia sampai tersesat di daerah Gunung Lawu, tidak lain karena terus dikejar-kejar oleh pra­jurit dari Bojonegara. Sang Begawan Jamba Loka sangatlah tersentuh hatinya mendengar cerita Bondan Gugur. Sang Begawan sudah mendapat firasat dari Dewata bahwa memang Majapahit sudah saatnya untuk teng­gelam dari percaturan dunia. Namun demikian kerajaan yang tenggelam itu masih akan muncul dalam suatu dunia yang terasing dan sepi yakni di puncak gunung Lawu.

Dan sekarang si bocah kecil yang ditolongnya, yang tidak lain adalah keturunan langsung Raja Brawijaya telah berada di gunung Lawu. Bukan kah wangsit Dewa yang diterimanya itu bakal menjadi kenyataan?. Di puncak Lawu ini Begawan Jemba Loka mengajar Bondan Gugur dengan segala macam ilmu, baik ilmu keduniaan maupun ilmu tentang kesempurnaan batin. Ilmu itu diharapkan dapat dipakai untuk beramal di dunia ini.

Demikianlah Begawan Jamba Loka mengajar sang Bondan Gugur sampai tuntas. Bondan Gugur berusaha dengan sepenuh hati untuk menyerap ilmu sang begawan. Bondan Gugur merasa sangat berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas segala karuniaNya, dan ia sangat berterima kasih pula pada gurunya, Begawan Jamba Loka. Setelah sang Begawan tuntas mengajarkan ilmunya berkatalah ia “Bondan Gugur, hendaknya engkau mengerti, bahwa segala macam ilmu yang saya miliki telah saya turunkan secara tuntas kepadamu. Sudah di­takdirkan Yang Maha Kuasa, bahwa saya tidak dapat bersamamu lebih lama lagi. Oleh karena itu perkenankanlah saya menyatu dengan dirimu, melebur ke dalam jiwamu.

Oleh sebab itu sebelumnya segala apa yang hendak saya pesankan kepada mu, hendaknya benar-benar engkau perhatikan” Bondan Gugur menjawab, “Iya Kek, lalu bagaimana kalau saya engkau tinggalkan Kek? Siapakah yang akan menemani saya?”. “Engkau tidak usah khawatir, karena aku akan menjadi satu dengan dirimu. Engkau akan tetap berada di sini dan bergelar Hyang Sunan Lawu. Kelak engkau akan dipuja dan dihormati oleh semua orang. Kelak engkau adalah pelindung rakyat. Segala kehendak rakyat yang baik harus engkau kabulkan dan kau layani dengan baik. Jangan sampai engkau bertindak yang dapat merugikan rakyat”, pesan Begawan tua itu.

“Terima kasih Kek, lalu di mana saya harus menetap Kek?” Tanya Bondan.

“Engkau harus bersemayam di puncak gunung ini. Di puncak gunung ini ada sebuah kerajaan, engkau harus bertahta di sana.

Engkau­lah yang memimpin kerajaan ini dengan gelar Hyang Sunan Lawu. Eng­kaulah penerus kerajaan Majapahit yang kini telah musnah. Engkaulah yang menjadi penerus darah orang tuamu”, jawab sang Begawan. “Teman saya siapa Kek?” Tanya Bondan Gugur lagi. “Soal teman jangan khawatir. Kalau telah berada di sana, engkau akan mendapat teman yang cukup. Sebuah kerajaan yang lengkap dengan patih dan prajurit – prajurit serta para pengawalnya. Engkau harus menu­ruti perintahku ini”, ujar sang Begawan pula.

“Jika saya menjadi raja, kek, dan memerintah sebuah kerajaan, segera seharusnya saya mempunyai seorang pendamping, yakni seorang permaisuri”, Bondan berkata lagi.

“Pasti, engkau akan kucarikan seorang permaisuri. Tetapi seorang permaisuri dalam bayangan”, jawab Begawan pula.

“Siapa Kek?”, tanya Bondan lagi.

“Permaisuri itu tidak lain ialah …..ah, itu nanti saja. Seorang permaisuri yang akan dapat kau ajak berbincang-bincang dengan bijak­sana”, kata sang Begawan.

“0, Iya Kek, terima kasih”, sambut Bondan Gugur akhirnya.

Siapakah gerangan permaisuri Bondan Gugur seperti yang dijanji­kan oleh kakek tersebut. Permaisuri tersebut tidak lain ialah penjelmaan almarhum Ratu Putri yang mendirikan kerajaan Majapahit, yakni yang sering disebut sebagai Dewi Angin-angin. Sekarang disebut sebagai Nyai Rara Kidul, yang menguasai laut selatan. Beliaulah yang bakal menjadi permaisuri Hyang Sunan Lawu. Karena masih berdarah bangsawan, meskipun sudah beberapa keturunan namun kecantikannya tidak berubah sama sekali, bagaikan masih seorang perawan. Setelah menjadi permaisuri Bondan Gugur atau Hyang Sunan Lawu, sang permaisuri tidak selalu berada di Puncak Lawu. Sebab sebenarnya sang puteri ini kadang-kadang nampak dan kadang-kadang tidak. Sang Raja Bondan Gugur bisa bersama sang permaisuri hanya dalam waktu yang sangat pendek saja. Itupun hanya kalau memang benar-benar ada keperluan yang sangat penting. Selain itu sang permaisuri tetap berada dan memerintah di laut selatan, sebuah kerajaan yang berada di alam halus. Sang permaisuri selalu siap untuk sewaktu-waktu datang ke puncak gunung Lawu kalau memang Bondan Gugur sangat memerlukannya. Terutama kalau ada marabahaya atau hal-hal yang tidak dapat diatasi secara pribadi oleh Hyang Sunan Lawu.

Terkisahlah, konon sang Hyang Sunan Lawu mempunyai senapati yang telah diciptakan oleh Begawan Jemba Loka, yakni bernama Hyang Turanggajati dan Kyai Pradhah. Hyang Turanggajati berada di gunung Tiling. Beliau ditugasi oleh Hyang Sunan Lawu menerima semua tamu terlebih dahulu sebelum menghadap Hyang Sunan Lawu. Kalau sudah dapat diselesaikan pada tingkatan ini, tamu tersebut tak perlu lagi diba­wa menghadap Hyang Sunan Lawu. Hanya jika ternyata tamu tersebut benar-benar seorang yang sangat penting baru dihadapkan kepada Hyang Sunan Lawu. Sedangkan Kyai Pradhah bertempat tinggal di sebelah timur di dekat kawah. Kyai Pradhah bertugas untuk menjaga ketenteraman daerah puncak Lawu, juga menjaga dan mengawasi ketenteraman dan kea­manan para rakyat kecil. Juga menjaga keamanan setiap orang yang akan menghadap Hyang Sunan Lawu.

Maka pada waktu itu daerah tersebut disebut gunung Tiling se­bab untuk memperhatikan keadaan alam atau keadaan kaki puncak Lawu, apakah alam sekitar tersebut tenang, tenteram dan damai, ataukah alam sekitar gelisah. Situasi semacam ini dapat diperhatikan, diamati dengan baik dari gunung Tiling. Jelasnya, pengamatan yang dilakukan dari gunung Tiling kemudian dikaji lagi dengan cermat di gunung Temiling. Kalau keadaan benar-benar telah teramati dengan baik, baru di­laporkan kepada Hyang Sunan Lawu. Maka menurut kabar, sampai sekarang bila ada orang dari daerah Cepu yang ingin naik ke puncak gunung Lawu tidak akan berhasil. Bahkan kadang-kadang mereka mendapat halangan dan rintangan. Apa­kah sebabnya! Hal ini memang ada hubungannya dengan sejarah dari jaman dulu. Tidak lain adalah, karena pada jaman dulu Bondan Gugur selalu dikejar-kejar oleh para punggawa Adipati Cepu dan Bojonegara sampai akhirnya melarikan diri ke puncak gunung Lawu. Jadi sebenar­nya peristiwa tersebut merupakan pembalasan dari Bondan Gugur ter­hadap orang-orang Cepu.

“Maka, orang-orang Cepu mulai sekarang ini, yang mempunyai tindak angkara murka pada saya kelak kalau mau naik ke puncak gunung Lawu, pasti akan terbalas”, demikianlah sabda Bondan Gugur yang ber­gelar Hyang Sunan Lawu.

Meskipun demikian, sekarang ini, tidaklah semuanya benar ter­jadi seperti kabar buruk diatas. Tidak semua orang Cepu akan mendapat halangan bila mendaki puncak Lawu. Konon kabarnya hanya orang-orang yang masih merupakan keturunan langsung dari Bupati Bojonegara sajalah yang terkena sabda Sang Bondan Gugur tersebut. Sedangkan orang-orang yang bukan keturunan Adipati Bojonegara tidak akan di­musuhi oleh Bondan Gugur. Maka sekarang ini tak perlulah orang Cepu merasa khawatir un­tuk mendaki puncak Lawu. Tidak akan terjadi apa-apa. Mereka akan tetap selamat. Karena mungkin sekali sekarang- ini keturunan langsung Adipati Bojanegara kira-kira sudah habis.

Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur. Drs. Leo Indra Ardiana, Jakarta, 1984, hlm. 56-62.