Madiun : Dongkrek Perlu Di Dongkrak



Pertunjukan Dongkrek
MADIUN - Dongkrek. Nama kesenian ini tentunya tak asing bagi penduduk asli Madiun dan sekitarnya. Ini adalah perpaduan antara seni musik dan gerak tari asli produk Kabupaten Madiun. "Derajat"-nya sebenarnya sama dengan Reog di Ponorogo. Tapi karena kurang publikasi dan pembinaan, kesenian ini terkesan tenggelam dan "kalah pangkat" dari kesenian tetangga selatan, Ponorogo.

Sebenarnya bagaimanakah dongkrek lahir, seperti apa jejak sejarahnya, dan bagaimana perkembangannya?

Seni dongkrek lahir sekitar tahun 1867 di wilayah Caruban, yang saat ini namanya berganti menjadi Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun. Kesenian itu lahir di masa kepemimpinan Raden Ngabehi Lo Prawirodipuro yang menjadi Demang (jabatan setingkat kepala Desa) yang membawahi lima Desa.

Dongkrek dipopulerkan tahun 1910 oleh Raden Bei Lo Prawirodipura, seorang palang di daerah Caruban. Seni musik tradisional ini punya banyak versi, dari Madiun selatan, dari Takeran (Kabupaten Magetan), sampai dari Ngawi juga ada. Semua versi itu untuk kebaikan, filosofinya untuk tolak bala dan mengandung pesan bahwa kebaikan mengalahkan kebathilan .


Soal filosofi seni Dongkrek ini, dulu rakyat Mejayan terkena wabah penyakit. Ketika siang sakit, sore hari meninggal, atau pagi sakit malam hari meninggal dunia. Raden Prawirodipuro sebagai pemimpin Caruban mencoba merenungkan metode atau solusi penyelesaian atas wabah penyakit yang menimpa rakyatnya.

Setelah melalui renungan, meditasi, dan bertapa di gunung kidul Caruban, dia mendapatkan wangsit untuk membuat semacam tarian atau kesenian yang bisa mengusir bala tersebut.

Dalam cerita tersebut, wangsit menggambarkan para punggawa kerajaan roh halus atau pasukan genderuwo menyerang penduduk Caruban dapat diusir dengan menggiring mereka keluar dari wilayah Caruban. Maka dibuatlah semacam kesenian yang melukiskan fragmentasi pengusiran roh halus, yang membawa pagebluk tersebut. Demikian riwayat singkat perjalanan dari kesenian Dongkrek sendiri.

Dongkrek hanya mengalami masa kejayaan antara 1867 - 1902. Setelah itu, perkembangannya mengalami pasang surut seiring pergantian kondisi politik di Indonesia.

Pada masa penjajahan Belanda, Dongkrek sempat dilarang oleh pemerintahan Belanda untuk dipertontonkan dan dijadikan pertunjukan kesenian rakyat. Saat masa kejayaan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, kesenian ini dikesankan sebagai kesenian "genjer-genjer" yang dikembangkan PKI untuk memperdaya masyarakat umum. Sehingga kesenian Dongkrek mengalami masa pasang surut akibat imbas politik.

Tahun 1973, Dongkrek digali dan dikembangkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Madiun dan Propinsi Jawa Timur. Tahun 1980 diadakan garap tari oleh Suwondo, Kepala Seksi Kebudayaan Dinas P dan K Kabupaten Madiun. Tapi semakin lama Dongkrek ini semakin tenggelam, jadi tak terkenal. Pada tahun 1996 Pemerintah Kabupaten Madiun pernah melaksanakan Festival Dongkrek di tingkat Kabupaten dengan hasil yang menggembirakan, dan baru tahun 2002 Dongkrek mengikuti festival-festival ke luar Madiun, termasuk ke Festival Cak Durasim, Surabaya. Bahkan sampai tampil di Istana Negara.

Nah, dengan mempertimbangkan peran dan posisi Dongkrek ini, sepertinya kita semua perlu, bahkan wajib, untuk ikut mendongkraknya, sejajar dengan Reog di Ponorogo.




# Sumber : Kota Gadis Madiun