Calon Kepala Daerah Bisa Jadi "Boneka" Koruptor



JAKARTA - Koordinator Indonesia Budget Center ( IBC ) Arif Nuralam meminta publik mewaspadai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berpotensi menjadi boneka koruptor.
Arif mencontohkan, calon yang menggandeng keluarga bekas terpidana korupsi dalam Pilkada. Bisa saja mereka hanya menjadikan boneka agar koruptor tersebut kembali masuk ke kekuasaan.

Seperti pencalonan Maphilinda, istri mantan Gubernur Sumatera Selatan Syahrial Oesman, sebagai calon Wakil Gubernur Sumatera Selatan. Meski berhak dicalonkan, status Maphilinda sebagai istri mantan pejabat yang pernah terjerat kasus korupsi, dianggap tak pantas secara etik dan politik. Arif khawatir itu menjadi pintu masuk bagi koruptor untuk menyetir kembali kekuasaan.

“Sangat mungkin (itu terjadi). Oleh karena itu itu penyelenggara pemilu harus melakukan pengetatan dan transparansi laporan kekayaannya dan dana kampanye. Publik juga harus disadarkan, agar lebih kritis dalam memilih,” kata Arif dalam keterangan persnya di Jakarta, Minggu (25/8/2013).

Selain itu, kata Arif, yang tidak kalah pentingnya lagi adalah membangun kesadaran kolektif pemilih untuk memberikan sanksi kepada calon dan keluarga koruptor. Daya kritis pemilih harus dibangun agar mereka tak selalu terpedaya kelit elite.

Menurut Arif, pendidikan politik pemilih harus menjadi grand design dari penyelenggara pemilu, yakni Bawaslu dan KPU. Dimana harus ada instrumen yang bisa mencegah munculnya pemimpin-pemimpin yang berwatak korup dan potensial menjadi boneka koruptor.

"Hal ini penting, agar percepatan transisi demokrasi yang berujung pad kesejahtaraan rakyat bisa terwujud," katanya.

Sementara itu, Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Yusfitriadi, mengatakan di tengah tingkat kesadaran publik terhadap mentalitas, moralitas kepemimpinan dan jabatan publik yang relatif masih rendah, pembatasan politik dinasti perlu mendapat payung hukum.

"Karena peraturan dibuat untuk merespons preseden yang terjadi, dimana di Indonesia, politik dinasti terjadi massif di berbagai tempat dengan berbagai modus operandi," kata Yusfitriadi.

Terkait keluarga bekas terpidana korupsi yang maju dalam sebuah kontestasi politik, menurut Yusfitriadi, memang cukuo rumit. Karena ketika didefinisikan keluarga secara sempit, maka hanya akan melibatkan bapak, ibu, dan anak. Tidak sedikit pula yang mendefinisikan keluarga dalam arti luas. Belum lagi, saat berbicara hak politik, dimana tidak bisa seseorang menanggung dosa orang lain.

"Padahal dia mempunya hak politik yang sama sebagai warga negara. Disinilah rumitnya," katanya. Sehingga, kata dia, ketika regulasi yang mengatur kontestasi politik dibuat dengan tidak mempertimbangkan banyak hal, ada kehawatiran itu memasung hak politik seseorang. " Disinilah rumitnya," kata dia.

Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi sendiri, dengan tegas mengatakan, pihaknya akan memasukan klausul pembatasan politik dinasti dalam RUU Pilkada. Menurut dia, pembatasan itu diperlukan. Meski dia menyadari, itu akan menuai pro dan kontra.

Namun, Gamawan yakin, pembatasan itu tak melanggar atau bertentangan dengan HAM. Gamawan pun membandingkannya dengan penerimaan pegawai negeri. "Sama dengan masuk pegawai, akan ada pembatasan, orang yang sudah berumur sekian," katanya.

Pembatasan politik dinasti itu sendiri tak bersifat total dan permanen. Misalnya, dibatasi untuk satu periode saja. Maka, ketika salah satu keluarga itu memimpin, katakanlah menjadi kepala daerah, maka diperiode berikutnya, tak boleh keluarganya mencalonkan. "Satu periode saja, lalu terputus, setelah itu boleh," katanya.


# sumber : oke zone