Tokoh Hindu Minta Pemkot Kupang Tuntaskan Polemik Pembangunan Masjid



Kupang - Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Nusa Tenggara Timur, I Made Putra Kusuma minta pemerintah Kota Kupang menyelesaikan masalah pembangunan  Masjid Nur Musofir di Kelurahan Batuplat, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Putra Kusuma, mengatakan pembangunan Masjid Batuplat itu bisa menjadi masalah besar jika tidak segera diselesaikan.

AKhir Juni lalu, pemerintah Kota Kupang, bersama Panitia Pembangunan Masjid Batuplat, tokoh agama, pemuda dan pemerintah Kecamatan serta pemerintah kelurahan Batuplat telah membahas rencana kelanjutan pembangunan masjid tersebut.

Dalam pertemuan tersebut disepakati, pembangunan mesjid belum bisa dilanjutkan dengan alasan Surat Rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama dinilai cacat. Selain itu surat dukungan warga sekitar dan surat dukungan jumlah umat tidak sesuai dengan yang ditentukan pada Peraturan Bersama Menteri.

"Ada hal-hal yang mungkin perlu diselesaikan dengan pembangunan tempat ibadah. Kalau di Hindu tidak ada masalah. Ada lahan, ada apa namanya ijin, IMB sesuai dengan aturan PBM sudah berjalan dengan baik. Tetapi ada yang terganjal seperti ambil contoh yang sering dikeluhkan oleh Ketua MUI mesjid Batuplat itu. Sampai sekarang masih terkatung - katung. Kalau masalah itu dibiarkan mengendap, nanti diam seperti api dalam sekam. Lebih baik diselesaikan,"katanya.

Pada Agustus 2011 lalu, ratusan warga Kelurahan Batuplat mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Kupang. Mereka menuntut agar pembangunan masjid tersebut dihentikan. Warga menuding prosedur perizinan pembangunan masjid tersebut tidak sah karena terjadi rekayasa surat pernyataan dukungan warga di sekitar lokasi pembangunan. Surat pernyataan yang ditandatangani 60 orang dinilai palsu karena sebenarnya hanya tiga kepala keluarga (KK) yang mendukung. Surat berisi tanda tangan 60 orang itu pun untuk kepentingan pembangunan musala tahun 2007 lalu.

Sesuai dengan arahan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung, pembangunan sebuah rumah ibadah minimal harus mendapatkan persetujuan sekurang-kurangnya 90 kepala keluarga (KK) di sekitar lokasi.