Kemegahan Candi Borobudur


Lukisan : G.B. Hooijer (1916-1919)
JATENG ; - Berbagai peninggalan sarana ritual agama Hindu maupun agama Buddha banyak ditemukan di Indonesia khususnya di pulau Jawa. Sarana ritual tersebut berupa bangunan suci yang disebut candi, berbagai kolam suci yang disebut patirthan dan gua-gua pertapaan. Salah satu peninggalan yang sangat penting tidak saja bagi umat Buddha tetapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia adalah sebuah bangunan suci yang dikenal sebagai candi Borobudur, yang telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Dunia (World Heritage) pada tahun 1991. Candi ini terletak didesa Bumisegoro, dekat Magelang, disebuah bukit yang ada di antara bukit Dagi dan sebuah bukit kecil lainnya, dan di sebelah selatan bukit Menoreh. Kira-kira 2 kilometer sebelah timurnya terdapat pertemuan dua buah sungai yaitu sungai Progo dan sungai Elo.
Menarik perhatian adalah bahwa candi Borobudur terletak pada satu garis lurus dengan dua candi Buddha lainnya, yaitu candi Pawon dan candi Mendut.

Menurut beberapa pendapat hal ini terkait dengan kepercayaan tertentu dalam agama Buddha. Letak candi di atas sebuah bukit atau tempat yang ditinggikan dan dekat dengan pertemuan dua buah sungai, merupakan pilihan yang tepat sesuai dengan aturan yang disebut dalam kitab Vastusastra. Salah satu Vastusastra yang mungkin dikenal oleh para seniman Indonesia adalah Vastusastra versi India Selatan yang disebut Manasara.
Ada temuan-temuan dihalaman candi berupa stupika tanah liat, meterai tanah liat bergambar Tara dan Buddha Tathagatha yang merupakan sisa-sisa upacara keagamaan. Ditahun 1952 ada penemuan lain berupa fondasi bangunan, sejumlah paku, besi, pecahan gerabah dan tembikar halus, sebuah genta , dan sebagainya, yang menunjukkan kemungkinan adanya vihara untuk para bhiksu pengelola candi yang terletak diluar halaman candi.

LATAR BELAKANG SEJARAH DAN AGAMA
Bilamana candi Borobudur didirikan tidak ada keterangan yang pasti. Dari penelitian bentuk huruf Jawa Kuna yang dipakai menulis inskripsi pendek-pendek di atas panil relief Karmawibhanga, candi didirikan pada abad IX, didirikan oleh seorang raja Sailendra, yaitu raja Samaratungga beserta puterinya bernama Pramodhawarddhani. didasarkan pada prasasti Karang Tengah dan prasasti Sri Kahulunan.

Latar belakang agama candi Borobudur adalah perpaduan ajaran Buddha Mahayana dengan Tantrayana , dengan meditasi filsafat Yogacara. Bentuk agama Buddha semacam ini mirip dengan agama Buddha yang berkembang di Bengal India, pada waktu pemerintahan raja-raja Pala pada sekitar abad VIII.

STRUKTUR BANGUNAN
Candi Borobudur secara keseluruhan terlihat sangat istimewa, baik dalam hal ukuran, tehnik penyusunan batu, maupun dari segi pemahatan relief dalam hal kwalitas maupun kwantitas , pemilihan jenis cerita, arca-arcanya dan sebagainya. Candi berdenah bujur sangkar dan secara keseluruhan berukuran 123 x 123 meter, tinggi asli (dengan chattra, yaitu bagian atas chaitya puncak) 42 m, tanpa chattra menjadi 31 meter.

Candi terdiri atas 10 tingkatan, 6 tingkat di bawah berdenah bujur sangkar dengan catatan ukuran makin ke atas makin kecil, dan tingkat 7,8,9, berdenah hampir bundar, diakhiri oleh stupa puncak yang besar. Secara keseluruhan candi Borobudur berbentuk stupa, tetapi mempunyai struktur berundak teras.

Pondasi candi Borobudur dibuat berbeda, candi didirikan langsung di atas bukit, yang dibentuk sesuai dengan bentuk candi yang dikehendaki dengan cara memotong bagian candi yang tinggi dan mengurug bagian bukit yang rendah. Pondasi bagian candi terluar dibuat masuk ke dalam tanah sedalam kurang lebih satu meter tertumpang di atas lapisan batu karang, sedangkan bangunan di atasnya tertumpang di atas beberapa lapis batu.

RELIEF DAN ARCA
Seperti telah disebut terdahulu, candi Borobudur dihias dengan relief cerita, dan relief ornamental yang kaya. Relief cerita menggambarkan adegan-adegan yang diambil dari beberapa sutra, yaitu cerita Karmawibhanga, Jatakamala, Awadana, Gandawyuha dan Bhadracari, yang dipahat pada bagian-bagian candi, seperti tertera di bawah ini:

1. Kaki candi tertutup - dinding candi - Karmawibhanga (160 panil)
2. Lorong 1, tingkat 2 - dinding candi - Lalitawistara (120 panil)
- Jataka/Awadana (120 panil)
- Jataka/Awadana (372 panil)
- Jataka/Awadana (128 panil)
3. Lorong 2, tingkat 3 - dinding candi - Gandawyuha (128 panil)
- pagar langkan - Jataka/Awadana (100 panil)
4. Lorong 3, tingkat 4 - dinding candi - Gandawyuha (88 panil)
- pagar langkan - Gandawyuha (88 panil)
5. Lorong 4, tingkat 5 - dinding candi - Gandawyuha (84 panil)
- pagar langkan - Gandawyuha /Bhadracari (72 panil)

Karmawibhanga. Relief Karmawibhanga atau yang sering disebut Mahakarmawibhangga dipahat di atas 160 panil yang menggambarkan ajaran sebab akibat, perbuatan baik dan jahat, setiap panil menggambarkan adegan tertentu dan bukan cerita naratif (beruntun).

Adegan-adegan dalam panil tersebut sangat penting untuk melihat perilaku masyarakat Jawa Kuna masa itu, antara lain perilaku keagamaan, mata pencaharian, struktur sosial, tata busana, peralatan hidup, jenis-jenis flora dan fauna.

# Foto: Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916—1919) merekonstruksi suasana di Borobudur pada masa jayanya.
Koleksi Tropenmuseum.