Mengungkap Rahasia Racun Panah Mentawai

MENTAWAI - Berjalan sambil menunduk dan mengendap-hendap dari balik tanaman, Mateus (31), warga Desa Maileppet, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, mengintai seekor babi yang masuk ke halaman dan merusak tanamannya. Babi itu memakan ubi kayu dan tanaman sayur mayur.

Berjarak sekira 50 meter, ia membidikkan panah ke hewan itu. Perlahan busur ditarik kemudian dilesakkan dengan kecepatan kilat. Anak panah Maateus pun menancap di pinggul kiri hewan tersebut.

Babi yang sedang memakan ubi kayu itu terkejut dan mengeluarkan pekikan keras kemudian berlari. Namun sekira 20 meter dari titik dia ditembak, babi seberat 30 kilogram itu terkapar, kejang-kejang, lalu mati.

“Kalau anak panah ini menancap ujungnya akan patah. Bukan berarti terlepas. Sebab memang didesain ujungnya sepanjang jari telunjuk digetingkan dan di situlah racun panah itu. Kalau sudah tertancap, racun akan menjalar melalui darah sampai ke jantung dan merusak syarafnya,” jelas Mateus.
Babi itu bisa dinikmati oleh anggota keluarga kendati mati akibat racun. Racun dibuat hanya untuk mematikan hewan tersebut, namun tidak berefek ke tubuh manusia.

Ternyata anak panah Mateus merupakan pemberian dari mertuanya, Besman Saleleubaja (60). Besman lah yang meracik ramuan racun mujarab itu.

“Racun yang diberikan di mata panah itu kalau kami sebut adalah omai. Itu merupakan racikan dari tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar tempat kami tinggal. Semuanya dilakukan secara tradisional,” timpal Besman

“Dulu, para kakek kami pakai panah itu sebagai alat perang. Biasanya dilengkapi dengan tombak dan koraibik (perisai) dari kayu setinggi satu meter, lebar 50 sentimeter, serta teile (parang). Saat ini dipakai hanya untuk berburu dan bahkan hanya pajangan hiasan rumah saja,” ujarnya.

Itulah senjata tradisional Mentawai yang saat ini menjadi incaran para turis yang melancong ke Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Namun, panah yang mereka jual itu tidak dikasih racun.

“Kami tidak akan menjual racunnya, hanya sekadar panahnya saja,” sambung Besman.

Ia mengungkapkan, tidak semua pemanah ulung atau pemburu hewan bisa membuat panah atau busur. Ia saja memesan panah kepada ahlinya.

Bayarannya, sang pembuat panah yang menentukan. Umumnya, bayaran yang diminta bukan dalam bentuk uang.

“Bisa beberapa batang kelapa, puluhan ekor ayam, bisa parang atau kuali besi yang ukuran besar, itu tergantung. Kalau di sini tidak memakai uang semuanya memakai sistem barter kalau kami bilang sakinia (belinya), kalau uang itu panah tak mujarab,” ujarnya.

Di rumah Besman, di kawasan Dusun Bat Joja, ada dua busur panah yang sudah memiliki tali. Satu busur yang sudah menghitam merupakan warisan dari orangtuanya, almarhum Yeremia.

“Saya ada dua busur panah. Satu ini warisan dari orangtua saya dan satu ini milik saya yang saya pesan sama warga Malilimok bernama Singoililit. Sekarang beliau sudah meninggal. Ia itu pemanah ulung sekaligus pembuat panah. Orang Mentawai dulu di atas generasi kami semuanya bertato Mentawai,” sambungnya.

Untuk menunjukkan bahwa seseorang pemburu ulung, biasanya ia akan membuat tato simbol binatang hasil buruannya. Tato dibuat di dada atau punggung.

“Seperti almarhum Singoililit ini yang membuat busur panah saya ini. Di dadanya penuh gambar monyet, babi, dan rusa. Itulah dia menyimbolkan sebagai pemanah dan pemburu ulung. Setiap hasil buruannya akan digambar di tubuhnya dengan cara mentato (titi’),” kenang Besman.




sumber : okezone