Menapaki Indahnya Gunung Penanggungan



Gunung Penanggungan
JATIM - Gunung Penanggungan atau nama Jawa Kunonya Pawitra terletak di selatan Mojokerto, Jawa Timur, merupakan gunung yang mempunyai keistimewaan dalam wujudnya. Gunung tersebut tidak terlalu tinggi (1659 m), namun memiliki keunikan tersendiri. Gunung Penanggungan dikelilingi oleh 4 bukit di sekitarnya (Bukit Bekel, Gajah Mungkur, Jambe, dan Kemuncup), di keempat arah mata angin, dengan demikian jika dipandang dari arah manapun akan terlihat adanya satu puncak tertinggi (puncak Pawitra) dan 2 puncak bukit lain di sisi kanan-kirinya.

Keadaan geografi seperti itu tentu sudah dikenal oleh masyarakat Jawa Kuno dalam masa Hindu-Buddha. Oleh karena itu gunung tersebut lalu dipandang sebagai gunung keramat, suci, dan merupakan jelmaan Mahāmeru. Sebagaimana diajarkan dalam kitab Brahmana dan juga dikenal dalam Buddhisme bahwa alam semesta ini berbentuk seperti piringan pipih melingkar, titik pusatnya adalah Gunung Mahāmeru. Gunung Mahāmeru dikelilingi oleh puncak-puncak gunung lainnya di arah mata angin, baik mata angin primer ataupun sekunder.

Dalam konsep Brahmana dinyatakan bahwa Mahameru berdiri pula di tengah benua besar Jambhudwipa, tempat tinggal manusia. Dalam pada itu di puncak Mahameru terdapat kota dewa-dewa yang dinamakan Sudarsana yang dipimpin oleh Indra. Di lerengnya terdapat hutan lebat, tempat bersemayam orang-orang suci yang telah meninggalkan nafsu duniawi, di kaki gunung serta di sekitarannya bermukimlah segala macam hewan dan manusia. Gunung Mahāmeru juga dipandang sebagai poros penghubung antara dunia manusia dan surga yang terdiri dari 7 lapis bertingkat di atas Mahāmeru. Gunung Mahāmeru dikelilingi oleh samudera berbentuk cincin 7 lapis, dan di antara samudera-samudera yang mengelilingi tersebut terdapat 7 lapis pegunungan yang mengelilingi Mahāmeru pula. Jadi gunung tersebut dikelilingi secara berselingan oleh lautan dan rangkaian pegunungan yang berbentuk lingkaran. Di bagian tepi alam semesta yang pipih terdapat rangkaian pegunungan melingkar sangat tinggi, sehingga sukar didaki manusia dinamakan dengan Cakrawala. Pegunungan tersebut menjaga agar tidak ada manusia yang jatuh ke bagian bawah alam semesta, sebab di bagian tersebut terdapat 7 lapisan dunia bawah serta para penghuninya yang bersifat jahat dan bermusuhan dengan manusia (Dumarcay 1986: 89—91).

Demikian gambaran Mahāmeru sebagai titik pusat kosmos dan axis mundi antara dunia manusia dan alam para dewa. Ternyata keadaan gunung yang dikelilingi oleh puncak gunung-gunung lain di sekitarnya terdapat juga di Jawa bagian timur, maka segeralah masyarakat Jawa Kuno yang telah memeluk agama Hindu-Buddha tersebut bersetuju bahwa gunung kecil namun unik itu adalah jelmaan Mahāmeru, nama gunung itu Pawitra dan dikenal sebagai salah satu karsyan penting sejak zaman sebelum Majapahit.

Kesakralan Pawitra kemudian dikokohkan lagi dalam uraian kitab Tantu Panggelaran yang digubah di awal abad ke-16, ketika pengaruh budaya Hindu-Buddha mulai surut dalam masyarakat Jawa. Dinyatakan dalam Tantu Panggelaran bahwa para dewa sepakat untuk menyetujui bahwa manusia dapat berkembang di Pulau Jawa, namun pulau itu selalu bergoncang-goncang karena diterpa ombak lautan, untuk mengajegkan Jawa para dewa lalu beramai-ramai memindahkan Gunung Mahāmeru dari Jambhudwipa ke Jawadwipa. Mereka mengangkat Mahāmeru dan membawanya terbang di udara. Dalam perjalanan melayang tersebut sebagian dari tubuh Mahāmeru ada yang rontok berjatuhan, maka menjelmalah menjadi gunung-gemunung di Pulau Jawa, sejak dari Jawa bagian barat, tengah dan timur. Tubuhnya yang berat dan besar dijatuhkan menjelma menjadi Gunung Semeru (Sumeru), sedangkan puncak Mahāmeru dihempaskan para dewa menjelma menjadi Pawitra, atau Gunung Penanggungan sekarang (Pigeaud 1924: 100). Oleh karena itulah Pawitra menjadi gunung yang sangat keramat dan angker dalam pemikiran masyarakat Jawa masa Hindu-Buddha, karena puncaknya Mahameru yang telah dipindah ke Jawa.


Sumber: Majalah Arkeologi Indonesia